• Truckmagz

Uji Nyali Ditengah ODOL

27 / 02 / 2022 - in Berita
Uji Nyali Ditengah ODOL

Demo para pengemudi truk menyikapi penindakan kendaraan OVER DIMENSI OVER LOAD (ODOL) oleh Kementerian Perhubungan bersama dengan Korps Lalu Lintas (Korlantas) POLRI menjadi pertanda awal “perlawanan” atas ketidakadilan dalam penegakan hukum oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan program pemerintah Indonesia menuju Zero ODOL 2023.

Jika mencermati tuntutan pendemo dan pelaku usaha dibidang jasa angkutan barang adalah belum adanya keadilan dalam penindakan overload, khususnya adanya konsekuensi hukum bagi pemilik barang muatan. Selama ini boleh dibilang pemilik barang seakan enak-enakan menikmati “cuan” ditengah kemelut gonjang ganjing penindakan overload.

Semua pelaku usaha dibidang jasa angkutan barang tentunya setuju dan tidak akan pernah menolak program Zero ODOL ini. Dukungan penuh untuk program Zero ODOL akan berdampak positif. Akan menciptakan persaingan usaha yang sehat dan terciptanya keselamatan berlalu lintas. Namun dengan catatan semua dijalankan dengan transparan, jujur, tidak tebang pilih dan berkeadilan.

Penindakan ODOL saat ini seakan menunjukkan ketidakberdayaan Kemenhub dalam membuat aturan main di “lapangan” nya sendiri. Ditambah dengan adanya ego sektoral dari pemangku kepentingan (stakeholders) seperti Kementerian PUPR, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Sebagai contoh adalah adanya jumlah beban yang diizinkan JBI berbasis kelas jalan yang ditetapkan oleh Kementerian PUPR, tidak mungkin bisa dilaksanakan secara maksimal oleh Kementerian Perhubungan (Pasal 30 PP 30/2021), mengingat jangkauan operasional kendaraan angkutan barang yang fleksibel dan tidak bisa dibatasi oleh trayek.

Kemajuan teknologi yang seharusnya bermanfaat dan dapat dinikmati oleh rakyat menjadi sia-sia tidak berguna. Daya angkut truk yang menjadi minim karena Muatan Sumbu Terberat (MST) berbasis kelas jalan, modifikasi daya angkut kendaraan yang tidak bisa diakomodir oleh regulasi karena harus mendapatkan izin dari Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) menjadi contoh adanya hambatan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Acuan pelaksanaan penindakan ODOL yaitu UU No. 22/2009 pasal 277 untuk pelaku overdimensi dan pasal 307 untuk overload hanya menyentuh pelaku langsung yaitu pengusaha angkutan dan pengemudi saja, tidak akan dapat menghentikan praktik ODOL karena salah satu unsur pelakunya yaitu pemilik barang muatan masih dibiarkan tidak tersentuh.

Dengan pola kerjasama bagi hasil yang sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka, berarti biaya tilang overload menjadi tanggungan pengemudi truk atau dibagi dua dengan pengusaha truk, sedangkan untuk kasus pelanggaran overdimensi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengusaha truk, pemilik barang tetap bebas menyuruh mengangkut.

Jika dilihat di UU No. 22/2009 overdimensi dikategorikan sebagai kejahatan dan overload sebagai pelanggaran (Vide Pasal 316 UU 22/2009). Seharusnya pelaku overload jika dilihat dari Perjanjian Pengangkutan Barang (Hukum Private) menyangkut dua subyek yang tidak dapat dipisahkan yaitu pemilik barang muatan dan pengusaha angkutan barang. Inilah hulu terjadinya pelanggaran overload. Sehingga sudah seharusnya kedua subyek tersebut diikat dalam satu regulasi.

Lalu bagaimana solusi mengatasi polemik penindakan ODOL ini?

Mungkin masih ada solusi dengan pendekatan melalui UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, untuk dibuat aturan khusus sanksi bagi terjadinya pelanggaran overload. Karena overload dikategorikan sebagai suatu pelanggaran, maka perlu adanya aturan sanksi dalam Administrasi Negara yang mengatur subyek yang terlibat dalam proses pelanggaran tersebut, sehingga dapat melengkapi kekurangan UU No. 22/2009.

Perlunya memberdayakan Kementerian Perhubungan dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sebagai Pejabat Publik agar dapat membuat aturan main di “lapangan”nya sendiri. Melalui kewenangan pejabat dengan berpatokan pada prinsip moral pejabat pemerintahan sesuai azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana tercantum dalam UU 30/2014, perlunya Kemenhub dan Ditjen Perhubungan Darat membuat “terobosan” dengan melakukan diskresi (Vide Pasal 1 angka 9 UU 30/2014), untuk mengakhiri polemik dasar penindakan OVER LOAD untuk pemilik barang muatan. Dengan kewenangan diskresi Kemenhub dapat membuat aturan mengenai sanksi untuk pemilik barang muatan, agar gonjang-ganjing penindakan ODOL ini dapat diakhiri dan tercipta keseimbangan serta rasa keadilan bagi semua pelaku usaha transportasi angkutan barang.

Melalui diskresi Kemenhub dapat membuat kebijakan yang mengakomodir kebutuhan masyarakat khususnya dalam dunia angkutan barang, dimana perlunya menyesuaikan daya angkut kendaraan seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam hal ini kebijakan MST yang selalu berbenturan dengan kelas jalan yang dikeluarkan oleh Kementerian PUPR.

Kemenhub dan Ditjen Jenderal Perhubungan Darat harus menunjukkan “nyali” membuat aturan secara mandiri sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jika ingin program yang dicanangkannya Indonesia Zero ODOL 2023 dapat tercapai.

Sebagai pemangku kepentingan seharusnya Kementerian Perhubungan, bisa sedikit mencontoh Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak yang selalu dinamis dan inovatif membuat terobosan-terobosan agar semua target yang diemban dapat tercapai maksimal.

Program Indonesia dalam mewujudkan Zero ODOL 2023 bukan hanya sekedar mimpi atau isapan jempol belaka. Saat ini hanya kurang selangkah membuat aturan yang berkeadilan. Aturan yang menjadi kunci suksesnya penegakan ODOL dilapangan. Amanah dari rakyat kepada para pejabat pemerintahan agar dapat dijalankan dengan transparan, jujur dan adil. Di dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan sudah sangat jelas mengatur kewenangan yang diberikan, tinggal menunggu “nyali” nya saja.

Oleh

Agus Pratiknyo, SE, MM

Wakil Ketua Bidang Angkutan Distribusi & Logistik DPD APTRINDO Jateng & DIY

Editor : Sigit

Foto : Truckmagz



Sponsors