Secara global konsumsi BBM menjadi salah satu komponen operasional terbesar perusahaan transportasi. Tapi BBM juga dikonsumsi oleh industri, sebagai pengganti kekurangan energi listrik atau tambang. Demikian kalimat pembukan Agung Sihwahyudi, CEP Easybensin pada kulgram Truckmagz, Rabu (16/3).
“Dengan kondisi saat ini, ada rencana penghapusan BBM bersubsidi, solusinya inovasi yang dapat dilakukan dengan Vendor Managed Inventory adalah pemain logistik mendapatkan bahan bakar yang tepat dengan kualitas produk yang tepat yang memenuhi spesifikasi kualitas bahan bakar mesin, dengan harga optimal,” katanya.
Ini dapat mengapresiasikan mekanisme B2B dan Vendor Managed Inventory, yaitu pencatatan yang akan mendukung pemantauan untuk setiap armada. Agung menjelaskan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pelaku industri trucking mengelola BBM lebih baik. “Pertama mendapatkan bahan bakar yang tepat untuk memenuhi spesifikasi kualitas bahan bakar mesin dengan biaya optimal ; bahan bakar berkualitas tepat, berdampak pada kinerja mesin dan keandalan mesin; performa mesin yang tepat berarti produktivitas; keandalan mesin berarti perawatan yang optimal sesuai dengan persyaratan OEM dan mengurangi kerusakan yang tidak direncanakan; masa pakai truk yang lebih baik dan terakhir menghilangkan peluang untuk “penguapan” bahan bakar,” terangnya.
“Desain dan teknologi mesin adalah penentu utama penghematan bahan bakar mobil. Efisiensi mesin dalam mengubah bahan bakar menjadi energi dan mempengaruhi penghematan bahan bakar secara langsung, dan desainnya mempengaruhi sebagian besar karakteristik dari kendaraan, terutama berat dan ukurannya, selanjutnya bahan bakar bisa dihemat,” tambah Agung.
Dengan menerapkan pembelian BBM secara konvensional ada beberapa kerugian. Pertama, ada potensi penipuan oleh pengemudi. Mereka dapat membeli bahan bakar bersubsidi atau dari sumber lain tanpa mempertimbangkan kualitas bahan bakar, kemudian menyimpan sisa anggaran untuk membeli bahan bakar. Kedua, perusahaan pengangkut akan mengalokasikan anggaran ekstra untuk pemeliharaan. Ada truk yang tidak terpakai karena rusak. Ketiga, pengiriman harian tidak tercapai, antrian di SPBU akan menambah waktu non produktif, ini menyebabkan keterlambatan pengiriman. Keempat, konsekuensi atas truk yang tidak terpakai karena NPT. Kelima, unrecordable fuel consumption, transaksi manual pembelian BBM di SPBU dengan berbagai lokasi. Keenam, tidak dapat menghitung anggaran bahan bakar vs pengiriman/produktivitas aktual.
Perilaku pengemudi memiliki pengaruh besar pada konsumsi bahan bakar. “Tidak mengherankan, kecepatan menjadi parameter utama dalam kebanyakan studi. Secara umum, perubahan kecepatan dalam mengemudi dan gaya mengemudi yang lebih halus dapat mengurangi risiko kecelakaan dan meningkatkan penghematan bahan bakar. Berapa banyak dari kita saat ini dapat memperhitungkan cost of ownership ongkos yang lain yang timbul karena kualitas BBM yang dipakai menjadikan masalah pada truk?” ucapnya.
Melihat kondisi saat ini, Agung mengajak pelaku industri trucking untuk sadar bahwa BBM menjadi hal krusial. “BBM ini sensitive karena demand kita di Indonesia tinggi tetapi supplynya. Sehingga teknologi harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk optimalisasi. Selain BBM, perlu diingat mesin yang rusak karena kualitas BBM bisa berdampaknya ke safety. Karena, cepat atau lambut, beban BBM di Indonesia ini berat. Sehingga, opsi yang ada adalah pemanfaatan teknologi untuk efisiensi. Sehingga kalau BBM subsidi dihapuskan, bagaimana bisa masuk ke ranah Solar Industry dengan efisien,” pungkasnya.
Editor : Sigit
Foto : truckmagz