Perang Rusia-Ukraina berdampak kepada Indonesia mulai dari BBM, kenaikan harga bahan makanan hingga hilangnya potensi ekspor. Produsen makanan mengeluhkan harga bahan makanan yang naik, tak hanya itu petani di pelosok daerah terancam merufi karena harga pupuk melambung tinggi.
Pada diskusi LPPI Virtual Seminar #76 : Krisis Geopolitik dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia, Selasa (31/5) Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri I Gede Ngurah Swajaya mengingatkan perang Rusia-Ukraina bisa membuat masyarakat Indonesia terancam.
“Ada satu hal yang sangat mengancam rakyat Indonesia, khususnya terkait ketahanan pangan, yakni sebagian besar supply untuk produksi pupuk Indonesia berasal dari Belarusia dan Rusia,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pupuk adalah tiga komoditas utama yang diimpor Indonesia dari Rusia selain besi dan baja serta bahan bakar mineral. Pada 2021, Indonesia mengimpor pupuk senilai US$ 326,1 juta dari Rusia sementara pada Januari-Februari tahun ini sebesar US$ 95,6 juta.
I Gede Ngurah mengatakan impor pupuk dari Rusia memang masih bisa dilakukan di tengah konflik. Pupuk juga tidak masuk dalam komoditas yang dikenai sanksi. Namun, perang membuat sebagian jalur diblokade sehingga jalur logistik terganggu.
“Secara logistik kemampuan Indonesia untuk mendatangkan pupuk ataupun pangan dari wilayah konflik juga menjadi hambatan yang luar biasa,” tambahnya.
Pada kesempatan lain, Antoni Tampubolon, Praktisi Transportasi, Logistik dan Ekspor Impor mengakui bahwa perang membuat Indonesia terkendala perihal logistik. “Indonesia memang belum bisa 100 persen mandiri, baik dari sisi pangan hingga energi. Kita masih tergantung barang import. Lalu apakah bisa mengurangi ketergantungan dari import tersebut? Jawaban ini bisa menjadi strategi dalam hal logistik,” katanya.
“Pada prinsipnya kita punya sumber daya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan, namun belum di eksplorasi lebih jauh. Penggunaan pangan masih ada yang import dari beberapa negara, misalna biji gandum dari Ukraina. Kita perlu melakukan pemetaan dulu mana saja, apa saja yang kira-kira bisa kita produksi dengan optimal dan efisien, dan mana yang tidak sesuai dengan kondisi negara kita. Jadi tidak ujug-ujug karena perang memberikan respon karena kita langsung memberikan satu kebijakan tegas . Jadi kita harus pahm dulu siapa kita,” pesan Antoni.
“Pemetaan terhadap segala kebutuhan, baik pangan hingga energi dan lainnya secara realtime. Bukan berdasarkan asumsi saja. Jadi harus memiliki database dulu terkait kebutuhan dari industri dan masyarakat. Ini harus jelas semua, baru dilakukan kajian analisa. Ini memang pekerjaan berat. Tapi saat ini sudah bisa dengan sistem yang marak dikembangkan,” lanjut Antoni.
“Kita sudah memiliki itu, dengan sistem logistik nasional yang dikembangkan berbasis data realtime. Kita benahi Sislognas ini menjadi lebih efisien. Kalau perlu ditingkatkan tidak hanya sebatas sistem saja. Tetapi menjadi regulasi supaya kuat penerapannya, misal peraturan pemerintah atau undang-undang. Jadi semua komoditi didata dari desa, kecamatan, hingga kota lalu dipelajari supply chain dan simpulnya baru dibuat pemetaan melalui sistem logistik nasional untuk bisa memenuhi kebutuhan secara efisien,” pungkas Antoni.
Editor : Sigit
Foto : pelindo